Oleh: Asrial Mirza
SUATU waktu saya bertanya. Pertanyaan itu saya tulis di laman Facebook. Yang saya tanyakan adalah, Kapan Pilkada Asahan? Sebuah pertanyaan yang sangat serius. Meski tidak disampaikan di forum resmi. Setelah saya posting, berbagai reaksi pun muncul. Ada yang hanya sekadar melihat. Sekadar membaca sepintas. Ada juga yang cuma memberi like jempol. Pun ada pula yang sesaat menarik napas. Ada pula yang bilang masih lama lagi. Namun, tidak sedikit pula yang menanggapi. Secara umum saya sulit untuk berkesimpulan. Apakah bagi orang- orang pertanyaan itu tabu. Atau mungkin ada yang merasa terusik. Bisa juga dianggap kurang kerjaan. Karena apa urusannya saya bertanya soal Pilkada. Semua serba mungkin, memang. Dan menanggapi atau tidak pertanyaan itu. Itu juga hak privat siap orang.
PADA AWAL pertanyaan itu saya posting, ada yang jawab. Pada jawaban teratas itu menyebut, bulan November 2024. Sementara kabarnya, bulan November itu sudah direvisi. Berubah maju ke bulan September 2024. Jika memang benar adanya perubahan tersebut. Artinya, penjawab belum mendapatkan informasi. Namun, terlepas ada tidaknya perubahan. Saya tetap mengapresiasi, tanggapannya. Bahwa dia orang peduli terhadap peristiwa demokrasi. Bahwa pesta demokrasi pada tingkatan apa saja harus disambut dengan hangat. Apakah itu Pemilihan Presiden (Pilpres). Pemilihan Gubernur (Pilgub). Pemilihan Bupati/Walikota (bisa disebut pilkada). Atau juga Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Pesta demokrasi yang biasanya setiap 5 tahun itu (kecuali pilkades) harus diapresiasi. Disambut dengan gembira dan sukacita. Bukan pula dengan perasaan gundah gulana.
SUATU WAKTU salah seorang Capres berkata. Bahwa perjalanan pemerintahan harus berhenti setiap 5 tahun. Lalu sama melihat ke belakang. Melihat pada waktu 5 tahun yang sudah dilalui. Bangsa ini harus melakukan evaluasi. Apa yang sudah dilakukan. Dan apa pula yang sudah dikerjakan. Evaluasi ini harus dilakukan segenap anak bangsa. Seluruh rakyat Indonesia. Baik itu kalangan stake holder pengambil kebijakan. Atau juga akar rumput (rakyat) selaku pemegang kedaulatan. Pada kenyataan ini, sebaiknya jangan ada yang merasa risih. Merasa terganggu karena kenikmatan yang terlanjur lekat. Lalu mencari-cari alasan untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan secara vulgar menabrak-nabrak konstitusi. Membuat dalil-dalil baru yang justru mengabaikan etika. Mereka-mereka yang pro Status Quo ini, adalah penista demokrasi. Karena sesungguhnya, bukan masalah menang atau kalah. Tapi lebih pada siapa yang taat azas. Siapa pula yang tidak perduli pada azas sebagai konstitusi. Yang seharusnya, siapa pun harus menghormati. Jika ingin diberi lebel sebagai warga negara yang baik.
TERNYATA nafsu tentang kekuasaan tidak terbatas pada level atas. Hal itu memang bukan suatu kesalahan. Karena manusia diciptakan Allah bersama nafsu nya. Hanya saja, alasan ini bisa dibenarkan sepenuh nya. Sebab manusia selalu diberi pilihan. Pilihan pada dua sisi yang bertolak belakang. Pada pilihan tersebut manusia diberi akal. Akal yang sempurna melebihi akal makhluk lainnya. Untuk itu lah nafsu mutmainnah harus di depan. Dan nafsu serakah harus di tepi kan. Agar setiap pelakon atau aktor demokrasi, berbuat lebih santun. Menjadikan rakyat sebagai tuan pemegang kedaulatan. Bukan sebaliknya, sebagai objek selagi dibutuh kan. Kemudian dilupakan, untuk dijanguk 5 tahun kemudian.
BERSELANG beberapa waktu kemudian. Di beranda Facebook saya ada yang melintas. Sebuah pertanyaan yang sama. Yang bertanya dengan nama Facebook, Bang Nasti. Saya yakin itu juga adalah pertanyaan yang serius. Bahkan dia menyebutnya dengan CAKADA atau Calon Kepala Daerah. Persis seperti apa yang saya tanyakan. Tentang Pilkada Asahan. Pesta demokrasi/kontestasi politik pada level Kabupaten/Kota. Yang sebenar nya harus sudah dibicarakan. Di tahun ini, tahun 2024 waktu sudah sampai. Jangan ada yang berkata belum waktunya. Jangan pula dikatakan terlalu cepat. Karena jika memang Pilkada dilaksanakan September 2024, itu 7 bulan lagi. Sebagai warga Asahan, kita juga harus berhenti sejenak. Lalu sama menoleh ke belakang. Melihat dan menilai kinerja Bupati/Wakil Asahan. Apa yang dijanjikan. Sudah seberapa jauh yang diwujudkan. Dan apa saja yang belum dilaksanakan. Terkhusus jika terkait visi misi pada Pilkada silam. Bagi mereka yang terkait langsung, kita berharap berlapang dada. Tidak apriori terhadap proses demokrasi. Karena semua itu adalah suatu yang alami.
KETIKA saya dan Bang Nasti juga yang lain bertanya tentang Pilkada. Sungguh itu bukan hal aneh. Bukan pula hal yang luar biasa. Seperti yang katakan tadi, itu proses alami. Sebuah proses demokrasi untuk sebuah perubahan. Perubahan pemimpin dari yang lama pada yang baru. Perubahan program yang lama dengan yang baru. Meski jika memenuhi ketentuan, pemimpin lama bisa mencalonkan diri lagi. Dan jika dipercaya dan dipilih, bisa memimpin lagi. Begitu juga dengan program, bisa berubah dan bisa berlanjut. Di sini lah seharus nya rakyat menunjuk kan peran nya. Bukan hanya diam dan mengikut selera pemimpin. Dan pemimpin juga harus mendengar aspirasi. Jangan alergi dengan kritik. Bahkan menganggap kritik sebagai bencana. Sehingga yang mengkritik harus dipenjara.
KABUPATEN Asahan adalah sebuah daerah kategori sedang. Sama artinya, tidak besar dan tidak juga kecil. Asahan dengan APBD hampir mencapai Rp 2 Triliun setiap tahunnya. Sudah seharusnya dipimpin oleh seorang Bupati yang hebat. Bupati yang visioner, cerdas, religius, berbudaya dan berakhlak mulia. Untuk mendapat pemimpin yang ideal (bukan sempurna) butuh waktu. Seperti iklan TV masa lalu, “Teliti Sebelum Membeli.” Meski pun sebenarnya, memilih Bupati tidaklah sama dengan membeli benda. Tetapi yang penting itu ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan. Agar terhindar dari Ibarat Membeli Kucing Dalam Karung. Untuk semua itu, harus diawali dengan keikhlasan. Kejujuran yang jauh dari politik uang. Politik transaksional yang mengabaikan nilai-nilai moral. Melanggar larangan agama yang termaktub dalam kitab Suci. Agar pemimpin dan rakyat nya selamat dunia dan akhirat.
KETIKA KAMI bertanya tentang kapan Pilkada Asahan. Jangan dicurigai dan tidak harus apriori. Ini adalah proses demokrasi dan alami. Kami bertanya, karena daerah lain sudah mulai bergeliat. Melihat pergerakan mereka, kami tidak ingin Asahan terlambat. Pada akhirnya, saya berharap. Asahan yang Tanah Melayu Berbilang Suku. Layak rasanya jika Bupatinya seorang Putra Melayu. Wassalam. (*)
Penulis adalah budayawan dan tokoh masyarakat Asahan