Oleh: Asrial Mirza
HAMPIR dua bulan sudah sahabatku Tatan Daniel kembali ke Jakarta. Dia memang tinggal di sana. Rumah, istri serta anak semata wayang, ya di Jakarta. Meski berasal dari Asahan, tetapi di KTP bukan warga Asahan lagi. Karena Tatan dan keluarganya menetap sejak masih berstatus PNS. Setelah pensiun pun tetap tidak ingin pulang kampung. Dan kebiasaannya, setiap balik kampung dia akan cari saya. Meski pun kawannya di sini banyak. Sebagai anak Asahan, dari kecil hingga tamat SMA, dia di sini.
Kuliah di Akademi Pemeritahan Dalam Negeri (APDN). Kuliah dengan ikatan dinas pastinya. Waktu berlalu dan perkuliahan selesai. Lalu menjadi pegawai pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Awalnya Tatan menjalani rutinitas setengah terpaksa. Konon, Tatan yang punya bakat seni, tidak berminat jadi amtenar. Namun tidak pula kuasa membantah.
Karena masuk APDN, piur hasrat orang tua. Manusia hanya punya otoritas sebatas rencana. Sedangkan Allah punya Hak Preogratif pada finishing-nya. ASN pula yang menghantar Tatan Daniel ke Jakarta. Tugasnya adalah sebagai Kepala Anjungan Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ide dan kreativitas yang dia miliki sebagai Kepala Anjungan. Menjadikan Tatan dikenal para seniman seantero nusantara.
SETIAP PULANG Tatan dan saya sering melakukan napak tilas. Dengan sepeda motor menyusuri jalan-jalan yang dulu sering kami lalui. Atau mendatangi tempat-tempat yang menjadi favorit kala itu. Bisa juga bertandang ke rumah-rumah kawan lama. Kawan-kawan yang juga berkutat di kesenian. Dulu itu kami punya sanggar. Namanya Sanggar Laras yang letaknya persis di sebelah rumah Tatan. Rumah yang dijadikan sanggar itu milik orang tuanya. Dan orang tua Tatan Daniel bernama WM Nurdin AR.
Beliau juga merupakan seorang seniman. Spesialisasinya, karya sastra berupa puisi, essai, cerpen maupun cerita rakyat. Salah satu karyanya telah diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta. Meski berada di Ibukota Kabupaten, Sanggar Laras cukup dikenal hingga Provinsi. Bahkan, Sanggar Laras telah banyak mencetak seniman-seniman kreatif. Seniman yang mampu berkiprah di pergaulan nasional.
NAMUN ketika Tatan pulang kemarin, ada hal lain yang kami bahas. Selain rutinitas setiap pulang yaitu napak tilas dan berkunjung. Menyambangi rumah kawan yang dulu satu sanggar. Atau kawan sepermainan masa kecil. Pun juga kawan nongkrong di warung kopi tahun 80-an. Yang pasti hal lain itu bukan politik.
Walau kami sadari bahwa saat ini adalah tahun politik. Entah kenapa, kami memang sama enggan untuk membahas politik. Meski saat sekarang sedang hangat-hangatnya. Dengan berbagai topik yang benar maupun hoax.
Tetapi kami memang tidak berminat untuk membicarakannya. Saya sendiri pernah aktif berpartai. Namun Tatan, belum pernah berpartai. Dan sepertinya tidak pula berafiliasi pada sebuah partai. Akan tidak nyambung jika kami membahas tentang politik.
Ditambah lagi, sepertinya Tatan belum move on dengan kasus politik. Bukan hanya dia pribadi, tapi bersama seniman lainnya. Bukan di Asahan masalahnya, tapi di Jakarta. Maka pertemuan kali ini, tema bahasan jadi beda. Yang kami ulas tentang karakter anak bangsa.
HARI INI topik tentang karakter anak bangsa sangat menyita perhatian. Perhatian siapa saja, tentunya. Tidak terbatas hanya pada Tatan dan saya. Perhatian stake holder pengambil kebijakan. Aparat penegak hukum. Lembaga Perlindungan Anak. Para orang tua khususnya. Juga menyita perhatian dan keresahan masyarakat.
Betapa tidak, sikap anak-anak hari ini sudah melampaui usia mereka. “Ada kawan seniman di Jakarta, dia pernah menetap di Jepang selama 3 tahun. Menurut cerita dia, pendidikan karakter di Jepang dimulai sejak dini,” ujar Tatan, ketika itu kami sedang duduk di warung kopi. “Aku kira bukan di Jepang saja.
Di sini, Indonesia pendidikan karakter juga di mulai sejak kecil,” balasku. Tapi menurut cerita kawannya Tatan, di Jepang murid kelas 1 hingga kelas 3, belum dikenalkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tetapi nanti setelah memasuki kelas 4, baru Calistung mulai diajarkan. Ketika berada di kelas 1 hingga kelas 3, sehari-hari di sekolah, mereka di dekat dengan alam dan isinya.
Seperti menyirami tumbuhan di halaman sekolah. Memberi makan hewan peliharaan yang ada di sekolah. Dan membasuh piring/ mangkuk sendiri ketika selesai makan. Rasa tanggung jawab pun akan tertanam sejak dini. Karena memang pelatihan itu sudah mereka jalani sejak awal. Sejak mendaftar dan masuk sebagai siswa.
SIKAP saling menghormati dan peduli termasuk yang diajarkan. Hormat pada yang lebih tua, seperti guru dan siapa saja. Juga menyayangi yang sebaya. Coba bayangkan, pengulangan kegiatan ini mereka lakukan setiap hari. Mulai masuk sekolah hingga pulang ke rumah. Rutinitas untuk membangun karate (character building) anak selama 3 tahun. Di negeri kita Indonesia, mana ada pendidikan karakter secara khusus.
Apalagi sampai 3 tahun lamanya. Yang ada, dilakukan di sela-sela pembelajaran. Maka sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kalau pun ada yang baik karakternya, mungkin hanya pengecualian. Bisa saja karena dasarnya sudah terbuntuk dengan baik. Dasar yang berawal pendidikan dari rumah. Dasar atau landasan, karakter, adab dan akhlak yang ditempa ayah ibu. Bukankah rumah adalah madrasah atau sekolah awal bagi setiap anak.
PENGALAMAN kawannya Tatan Daniel di Jepang memang hebat. Akan tetapi untuk diterapkan di Indonesia, mungkin belum bisa. Karena jika kita ingin mengadopsi sistem mereka ada penghambat. Yang pertama adalah kurikulum yang berlaku.
Lalu fasilitas secara umum yang kurang memadai. Terutama fasilitas pendukung seperti halaman sekolah yang luas. Dan yang paling sulit adalah merubah mindset para wali murid. Karena secara umum, dalam pemahaman mereka sekolah itu Calistung (membaca, menulis, berhitung). Murid yang bersekolah di RA, TK Paud dan KB, mereka tanya PR-nya.
Padahal, yang terdapat di sekolah-sekolah ini anak umur 3-5 tahun. Bagaimana jika anak yang usia 5-7 tahun belum belajar Calistung. Para wali murid itu akan protes. Bahkan mungkin, mereka melakukan unjuk rasa. Kondisi ini semakin buruk akibat ulah stake holder.
Pemberian izin operasional bagi sekolah tanpa uji kelayakan. Selain sarana belajar mengajar yang belum memenuhi standar. Sebagian besar sekolah tidak memiliki lapangan bermain yang cukup. Pemberi izin juga sepertinya melihat sekolah hanya Calistung. Apa yang diperbuat stake holder itu, justru membuat pembangunan karakter semakin buruk.
SESULIT APAPUN rintangannya. Dan sebesar apapun tantangannya, sistem pendidikan dasar harus direvisi. Terutama dari sejak pendidikan usia dini. Melihat kenyataan hari ini bahwa karakter anak bangsa sangat buruk.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah mulai memikirkan. Agar pembangunan karakter anak menjadi prioritas utama. Character Building merupakan keharusan. Bahkan bisa dikatakan wajib hukumnya. Karena suatu bangsa akan hancur jika rusak peradabannya. Sementara peradaban dimulai dari karakter, etika, adab dan akhlak yang baik. SEMOGA. (*)
Penulis adalah budayawan dan tokoh masyarakat Asahan