Kisaran (Klik Cerah) – Salah satu sumber pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintah daerah adalah pajak. Untuk Kabupaten Asahan, setidaknya ada 10 macam jenis pajak yang tiap bulannya dipungut oleh petugas yang telah ditetapkan. Sebelumnya ada 11 jenis pajak daerah, akan tetapi setelah pajak sarang burung walet dihapus. Maka yang tersisa 10 jenis pajak saja.
Satu diantaranya adalah pajak rumah makan/restoran. Atau biasa juga disebut pajak makan minum. “Kami bayar sebulan sekali. Sekarang ini kami bayar Rp 300 ribu,” kata Zulkifli SH, pemilik rumah makan Pondok Kelapa (Pokel), Jalan Imam Bonjol, Kisaran, kepada Koran Cerah, pekan lalu.
Pria dengan panggilan akrab Zul Pokel ini, sebelum pandemi Covid-19, pihaknya menyetorkan pajak sebesar Rp 600 ribu. Namun karena menurunnya omset, mereka meminta pengurangan. Pandemi Covid-19 dua tahun lalu sangat berpengaruh bagi dunia usaha, terutama menurunnya pengunjung.
“Akibatnya menurun pula penghasilan kami. Makanya kami bermohon pada Pemkab Asahan untuk dilakukan pengurangan kewajiban pajak. Hingga hari ini kami masih menyetorkan pajak sebesar Rp 300 ribu setiap bulannya,” ujarnya.
Meski saat ini pandemi telah berlalu, tapi tak lantas mendongkrak penjualan. Pasalnya, tambah Zul Pokel, saat ini di Kisaran banyak bermunculan tempat kuliner berbentuk kafe. Hadirnya kafe-kafe tersebut berimbas pada usaha mereka.
“Kondisi daya beli masyarakat menurun, usaha makan minum semakin banyak. Maka omset pun semakin menurun. Bedanya di waktu Covid orang takut keluar rumah. Sekarang konsumen itu ke luar rumah, tapi menyebar ke semua warung kuliner,” sebutnya.
Tak hanya kafe, keberadaan pedagang makanan dan minum di kaki lima juga sangat berpengaruh. “Kehadiran mereka ini juga sedikit banyaknya berpengaruh pada usaha kami. Tetapi tidak banyak menambah pemasukan PAD pada Pemkab. Usaha kaki lima tidak kena pajak rumah makan atau restoran,” ungkapnya.
Pedagang kaki lima hanya membayar retrebusi saja. Tidak membayar kontrak tempat usaha. “Cukup hanya 1 atau 2 orang pekerja yang dipakai. Mereka hanya bayar uang lapak sama pemilik rumah. Padahal omset mereka bisa lebih besar dari kami,” ucapnya.
“Kami berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Asahan dapat menertibkan pedagang-pedagang kaki lima yang tidak beraturan ini. Karena semua itu berdampak pada kami. Apalagi kesemrawutan ini membuat Kota Kisaran terlihat kumuh,” harapnya.
Menurutnya, keadaan kota yang tidak tertata rapi juga bisa membuat konsumen dari luar daerah enggan untuk singgah. “Kami berharap pihak Pemkab Asahan segera menertibkan pedagang kaki lima. Mereka juga harus membayar pajak seperti kami, bukan hanya retribusi saja,” tambahnya.
Keadaan semakin sepi dengan beroperasinya jalan tol. Kendaraan sering hanya lewat tanpa masuk ke kota. Karena di jalan tol ada rest area yang juga menyediakan makanan dan minuman.
“Begitu juga dengan pengelolaan parkir, karena itu juga berkaitan dengan kami sebagai pelaku usaha. Dan yang tak kalah penting adalah petugas pengutip retribusi. Tunjuklah orang-orang yang tepat. Sehingga retribusi yang dikutip hasilnya sesuai dengan target pemkab,” sarannya. (asr)